Polemik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup; Catatan Kritis Terhadap Kepemiluan dan Partai Politik
Doni Febriansyah, SE menulis karya tulis dengan judul : Polemik, Sistem Pemilu, Proporsional Terbuka, Proporsional Tertutup, Catatan Kritis, Kepemiluan dan Partai Politik.--
Pihak kandidat yang memiliki keterbatasan anggran, mengaharuskan mencari donatur untuk mennsupply kas finansial yang diperuntukan untuk mendanani biaya kampanye, memobilisasi TIMSES, belanja inventaris asset dan secretariat pemenangan, serta menjalin mitra jaringan kerja, sedangkan pada sisi penyelenggaraan, calon panitia yang hendak mendaftar tentu harus memiliki garantor, ataupun patron agar dapat memfasilitasi perjalanan proses hingga penetapan final.
Dikutip dari laman litbang kemendagri, ongkos pencalonan legislative dari tingkat daerah hingga nasional memakan biaya paling minimal dari tarif ratusan juta jingga miliaran.
Adapun rincian nya sebagai berikut ; biaya minimal untuk tingkat DPR RI senilai 1-2 miliar, tingkat DPR Provinsi 500 juta-1 miliar, dan tingkat kabupaten kota senilai 250-300 juta (https://litbang.kemendagri.go.id/website/biaya-yang-dikeluarkan-untuk-nyaleg-menurut-riset/).
Untuk Sebagian umum masyarakat, biaya tersebut terbilang sangat tinggi dan tentunya menjadi gap untuk masyarakat yang mempunyai kapasitas kepemimpinan dan gagasan visioner untuk masuk ke tahap pencalonan, kalaupun ada pihak yang siap mendanai, tentu independensi dalam penyusunan program kerja yang akan dijalankan dapat terredusir oleh kontrak sosial lewat hubungan patronase tersebut.
Perlu diingat bahwa angka tersebut berdasarkan estimasi dan bisa jadi ongkosnya lebih besar atau lebih kecil sesuai situasi spasial dan tematikal tertentu.
Sedangkan untuk pembiayaan kepala daerah tingkat bupati/walikota dan gubernur menghabiskan anggaran sebesar 20-30 miliar untuk tingkat kabupaten/ kota, dan biaya sebesar 20-100 miliar untuk tingkat provinsi (https://news.detik.com/berita/d-5270765/kutip-data-kemendagri-kpk-paparkan-biaya-calon-kepala-daerah-capai-rp-100-m).
Angka fantastis tersebut cukup absurd untuk digunakan sebagai modal pencalonan, apalagi tiidak menjamin determinasi final, wajar saja jika angka korupsi di tataran birokrasi menjadi kasus terbanyak, karena modal yang terlalu tinggi tersebut bukan diperuntukan dana amal maupun sumbangan kedermawanan, pasti ada misi latensi untuk mencari keuntungan melalui kekuasaan ataupun balas budi berupa konsesi kepada pihak donatur.
Secara rasional, fakta objektif ini bagaikan anomaly, pemimpin dan dewan yang menempati posisi strategis structural kenegaraan yang harusnya mengabdi pada pelayanan public, tapi harus mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan mandat tersebut.
Belakangan ini muncul opini dan usulan tentang perubahan mekanisme PEMILU dari proporsional terbuka menjadi Proporsional tertutup, banyak pihak yang telah mengutarakan pandangan nya baik yang pro terhadap yang terbuka maupun tertutup, beserta rasionalisasi dan pertimbangan yang menjadi landasan nya.
Missal saja ada pihak yang mengatakan bahwa jika menggunakan pola proporsional tertutup, mandataris penentuan delegasi dewan berada pada hak preogratif partai, sehingga kuota yang akan diprioritaskan kepada kader ideologis, sekaligus dapat menekan persaingan terbuka dengan kekuatan uang sebaagi indicator kekuatannya.
Sedangkan dari perspektif pihak yang pro terhadap konsep proporsional terbuka, menyoroti potensi berbahaya otoritatian partai selaku pemegang kekuasaan dalam pendelegasian calon, karena rawan sekali menjurus pada praktik nepotisme kepada pihak yang dianggap dekan dengan petinggi partai sekaligus memberikan control ketat partai atas anggota, maka resiko tersuborinasi nya kader partai atas atasan semakin kuat.
Mari coba kita timbang konsideran jika kedua pandangan tersebut terealisasi, untuk tahap pertama kita uji pandangan tentang mekanisme proporsional terbuka yang telah berjalan sejak PEMILU 2004, anggota dewan yang terpilih dinilai dari perolehan suara terbanyak dan berhak mendapatkan kuota kursi di parlemen.
Sejauh berlangsungnya proporsional terbuka ini, kira kira dampak konstruktif apa yang dimunculkan para anggota dewan yang diamanahkan menduduki posisi strategis tersebut terhadap daerah pilihan nya (DAPIL), apakah cukup sebatas reses, penyaluran dana bantuan, mengawal pembangunan infrastruktur dan kualitas pengembangan masyarakat, jika hanya sebatas itu saja, bukan kan hal tersebut sudah menjadi tugas wajib seorang anggota dewan kepada DAPIL nya?.
Coba sejenak kita review kebelakang baik di tataran nasional dan daerah, pengesahan Undang Undang yang berpotensi merugikan masyarakat pada point point pasal nya, adakah dewan di dapil kita yang dengan lantang menentang untuk meminta di tinjau ulang ataupun mengusulkan aspirasi dari bawah, supaya memperjuangkan regulasi yang relevan berdasarkan alanisa kebutuhan prioritas masyarakatnya.
Untuk isu di daerah, berapa banyak suara yang disampaikan para dewan untuk melakukan advokasi probelmatika krusial di daerah, contoh saja di sector Pendidikan, Kesehatan dan pertanian, ketimbang banyaknya izin konsesi yang disahkan kepada pihak korporasi dan pelaku bisnis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: