Polemik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup; Catatan Kritis Terhadap Kepemiluan dan Partai Politik

Polemik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup; Catatan Kritis Terhadap Kepemiluan dan Partai Politik

Doni Febriansyah, SE menulis karya tulis dengan judul : Polemik, Sistem Pemilu, Proporsional Terbuka, Proporsional Tertutup, Catatan Kritis, Kepemiluan dan Partai Politik.--

Selain dikenal sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan birokratis, partai politik bertujuan secara umum: meningkatkan partisipasi politik masyarakat, membangun cita cita parati poliitk, membangun etika dan budaya politik. 

Kemudian secara fungsi, partai politik aalah : sebagai sarana edukasi politik, menciptakan iklim kondusif dalam bermasayarakat dan bernegara, sarana penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik dalam merumuskan dan menentukan kebijakan negara, poin terakhir sebagai partisipasi politik warga negara. 

Melihat komprehensifitas wewenang dan fungsional partai politik, negara selaku identitas kolektif memiliki hubungan mutualis sebagai objek formal dan partai politik sebagai perangkat operasional kebijakan dan arah haluan negara (https://nasional.tempo.co/read/1626279/apa-itu-partai-politik-fungsi-dan-perannya-dalam-sistem-politik).

Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan politik berlangsung pada permulaan abad ke 20, periode tersebut masih bergumul dengan pergolakan kolonialisme yang berpusat di Jawa. 

Era baru pergerakan Indonesia melancarkan resistensi kemerdekaan melalui jalur pergerakan, dirintis sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, sebagai perhimpunan priyai jawa. 

Kesadaran bangsa Indonesia, terkhusus pemuda menyikapi urgensi persatuan mulai menemui titik balik, walau terkesan elitis dan jawa-sentris, setidaknya Budi Utomo mampu mentriger lahirnya gerakan antitesa yang lebih mempunyai visi global tentang Nasionalisme. 

Tidak jauh berselang dari berdirinya Budi Utomo, kawanan tiga serangkai, Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Suwardi Suryadiningrat, Cipto Mangunkusumo menginisiasi berdirinya Indische Partij (IP) pada tahun 1912, suatu embrio partai politik yang memiliki cita cita tentang kemerdekaan politik dan gagasan egalitarian, sebagai bentuk kritik terhadap politik segregasi dan kooptasi pihak kolonialis Belanda yang memposisikan Bumiputera (Pribumi) sebagai kelas rendahan. 

Maneuver Indishce Partij sebagai kekuatan politik mengalami pasang surut, hal ini dapat dilihat dari pengasingan tiga serangkai yang diidentifikasi sebagaoi dalang agitator, sejak 1913 seluruh kegiatan IP dinyatakan terlarang. 

Kebangkitan kembali IP dengan sumberdaya masa yang makin bertambah dan radikal terjadi pada kongres di semarang, sejak kongres tersebut organisasi ini resmi berganti nama menjadi National Indishe Partij (NIP), kehadiran Haji Misbach dengan pemikiran marxisme makin menambah semangat revolusioner, bentuk konkret pertumbuhan itu dibuktikan dengan mobilisasi buruh di Pulonharjo yang mengadakan aksi mogok missal, sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan kolonialis Belanda (https://www.qureta.com/post/insulinde-nationaal-indische-partij-potret-pergerakan-di-hindia-belanda)

Periode perjuangan politik bangsa Indonesia yang ditandai kemunculan partai politik sejak kehadiran IP menjalankan fungsi social control atas tindakan represif kolonialis Belanda mmpu mengilhami komunitas sipil kebangsaan di Jawa untuk terlibat membangun konsolidasi melalui sarana partai politik. 

Konstelasi ideology trans-nasional yang belakangan abad ke 20 muncul di Hindia-Belanda turut mewarnai corak paradigma masyarakat Indonesia, euphoria keberhasilan Revolusi Bolshevik sebagai representasi kelas buruh merebut kekuasaan dari monarki-feodalisme menambah semarak ketertarikan masyarakat dunia ke tiga sebagai korban imperialism, meminjam pandangan politik tersebut sebagai haluan perjuangan, tak terkecuali bangsa Bumiputera. 

Melalui paham sosialis-demokrat Belanda (SDV), Henk Sneevlit selaku agen ideology-propagandis, memperkuat paham marxisme dan sosialisme democrat untuk di objektifikasi pada kawasan Hindia-Belanda. 

Penjelmaan SDV tersebut bermutasi sebagai Partai Komunis Hindia, kelak menjadi Partai Komunis Indonesia sebagai salahsatu partai politik pendahulu di kawasan Hindia-Belanda. 

Kader senior Partai Komunis Indonesia antara lain; Semaun, Darsono, Alimin, Tan Malaka, kemudian melanjutkan risalah marxisme-leninisme. 

Mitra strategis Partai Komunis Indonesia kala itu berasal dari serikat buruh kererta api dan serikat buruh perkapalan, penddidikan politik yang digalakan adalah usaha untuk menginternalisir paham agar dapat dijadikan doktrin perjuangan kelas menghadapi praktik despotism kaum Borjuis. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: