Perlu diingat bahwa angka tersebut berdasarkan estimasi dan bisa jadi ongkosnya lebih besar atau lebih kecil sesuai situasi spasial dan tematikal tertentu.
Sedangkan untuk pembiayaan kepala daerah tingkat bupati/walikota dan gubernur menghabiskan anggaran sebesar 20-30 miliar untuk tingkat kabupaten/ kota, dan biaya sebesar 20-100 miliar untuk tingkat provinsi (https://news.detik.com/berita/d-5270765/kutip-data-kemendagri-kpk-paparkan-biaya-calon-kepala-daerah-capai-rp-100-m).
Angka fantastis tersebut cukup absurd untuk digunakan sebagai modal pencalonan, apalagi tiidak menjamin determinasi final, wajar saja jika angka korupsi di tataran birokrasi menjadi kasus terbanyak, karena modal yang terlalu tinggi tersebut bukan diperuntukan dana amal maupun sumbangan kedermawanan, pasti ada misi latensi untuk mencari keuntungan melalui kekuasaan ataupun balas budi berupa konsesi kepada pihak donatur.
Secara rasional, fakta objektif ini bagaikan anomaly, pemimpin dan dewan yang menempati posisi strategis structural kenegaraan yang harusnya mengabdi pada pelayanan public, tapi harus mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan mandat tersebut.
Belakangan ini muncul opini dan usulan tentang perubahan mekanisme PEMILU dari proporsional terbuka menjadi Proporsional tertutup, banyak pihak yang telah mengutarakan pandangan nya baik yang pro terhadap yang terbuka maupun tertutup, beserta rasionalisasi dan pertimbangan yang menjadi landasan nya.
Missal saja ada pihak yang mengatakan bahwa jika menggunakan pola proporsional tertutup, mandataris penentuan delegasi dewan berada pada hak preogratif partai, sehingga kuota yang akan diprioritaskan kepada kader ideologis, sekaligus dapat menekan persaingan terbuka dengan kekuatan uang sebaagi indicator kekuatannya.
Sedangkan dari perspektif pihak yang pro terhadap konsep proporsional terbuka, menyoroti potensi berbahaya otoritatian partai selaku pemegang kekuasaan dalam pendelegasian calon, karena rawan sekali menjurus pada praktik nepotisme kepada pihak yang dianggap dekan dengan petinggi partai sekaligus memberikan control ketat partai atas anggota, maka resiko tersuborinasi nya kader partai atas atasan semakin kuat.
Mari coba kita timbang konsideran jika kedua pandangan tersebut terealisasi, untuk tahap pertama kita uji pandangan tentang mekanisme proporsional terbuka yang telah berjalan sejak PEMILU 2004, anggota dewan yang terpilih dinilai dari perolehan suara terbanyak dan berhak mendapatkan kuota kursi di parlemen.
Sejauh berlangsungnya proporsional terbuka ini, kira kira dampak konstruktif apa yang dimunculkan para anggota dewan yang diamanahkan menduduki posisi strategis tersebut terhadap daerah pilihan nya (DAPIL), apakah cukup sebatas reses, penyaluran dana bantuan, mengawal pembangunan infrastruktur dan kualitas pengembangan masyarakat, jika hanya sebatas itu saja, bukan kan hal tersebut sudah menjadi tugas wajib seorang anggota dewan kepada DAPIL nya?.
Coba sejenak kita review kebelakang baik di tataran nasional dan daerah, pengesahan Undang Undang yang berpotensi merugikan masyarakat pada point point pasal nya, adakah dewan di dapil kita yang dengan lantang menentang untuk meminta di tinjau ulang ataupun mengusulkan aspirasi dari bawah, supaya memperjuangkan regulasi yang relevan berdasarkan alanisa kebutuhan prioritas masyarakatnya.
Untuk isu di daerah, berapa banyak suara yang disampaikan para dewan untuk melakukan advokasi probelmatika krusial di daerah, contoh saja di sector Pendidikan, Kesehatan dan pertanian, ketimbang banyaknya izin konsesi yang disahkan kepada pihak korporasi dan pelaku bisnis.
Beranjak dari Analisa penerapan proporsional terbuka ke proporsional tertutup, mari berandai andai sejenak, jika pemberlakuan mekanisme ini disahkan sebagai regulasi kepemiluan, sudah sejauhmana penjaringan kader partai yang berkualitas di tingkat kemasyarakatan dan proses kaderasi partai dalam mengajarkan ideologisasi kepada partainya.
Pada tahap ini partai punya wewenang untuk mengutus kader terbaiknya sebagai representasi pelayanan public di tingkat parlemen.
Partai politik secara jenjang kepengurusan memiliki tingkatan dari ranting sampai pengurus pusat, untuk tingkat rantaing sebagai ujung tombak pergerakan, masih minim sekali jajaran partai yang telah lulus verifikasi menjalankan program kerja yang terintegrasi dari pusat untuk diterapkan di level kemasrakatan.
Catatan kritis juga tertuju kepada partai politik nasional yang kurang memperhatikan aktivitas program di tingkat ranting, seakan akan jenjang kepengurusan diperuntukan sebatas syarat administrasi, tanpa melihat peran dan fungsi di masing masing jenjangnya.
Hendaknya dengan dibentuknya pengurus ranting di tingkat kelurahan, dapat dimanfaatkan sebagai metode menjalin hubungan emosional kepada masyarakat, dalam mensosialisasikan Pendidikan politik, mengadakan sekolah pergerakan, agenda rekayasa sosial sebagai upaya mendidikan masyarakat sipil menuju masyarakat yang sadar akan politik (Political society).