Polemik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup; Catatan Kritis Terhadap Kepemiluan dan Partai Politik

Kamis 15-06-2023,05:44 WIB
Editor : Dian

Selain itu, para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club (ASC) yang diketuai oleh Soekarno juga bergabung bersama untuk mendirikan PNI. Pada tahun 1928, PNI berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia, yang secara tegas bertindak non-kooperatif terhadap Belanda, dikarenakan aktivitas politik PNI yang semakin membangun kesadaran nasionalisme dan patriotism kebangsaan, pada tahun 1929, pemerintahan kolonial Belanda menetapkan organisasi ini terlarang, setahun kemudian Sukarno turut menjadi korban represi dengan dijatuhi hukuman penjara di lapas Sukamiskin (https://nasional.tempo.co/read/1608390/4-juli-1927-tonggak-sejarah-partai-politik-di-indonesia)

Ketiga contoh organisasi politik yang hadir di awal awal periode pergerakan nasional, merupakan rolemodel dari entitas yang bernama partai politik. Partai politik di masa itu menedepankan prioritas edukasi politik, partisipasi kolektif dan wahana serap, tampung dan penyalur aspirasi masyarakat, wajar bila militansi kader hingga loyalis partai siap berjuang all out untuk mengikuti agenda partai, baik aksi demonstrasi atau pemogokan, konsolidasi atau bahkan sekedar mengadiri orasi dari figure partai. 

Partisipasi massa dilatarbelakangi oleh dorongan altruistik dalam turut membersamai program kerja partai, karena dirasa koheren dan relevan untuk dikawal, tanpa mempertimbangkan transaksi jangka pendek, apalagi sebagai masa bayaran, yang sekedar meramaikan acara, tapi tidak sedikitpun aspirasinya terwakilkan dalam agenda proyeksi partai.

Pemilihan umum (PEMILU) sering dianggap Sebagian besar pihak sebagai bentuk berdemokrasi, melalui penyaluran suara pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. 

Ajang pemilihan anggota dewan beserta tingkat pemerintah daerah sampai nasional di rentang waktu lima tahun sekali, dilabeli sebagai pesta demokrasi rakyat, karena melibatkan berbagai lapisan sosial untuk berpartisipasi memeriahkan hajat tersebut. 

Biasanya menjelang berlangsungnya pencoblosan, sosialisasi kandidat yang hendak berkompetisi, gencar menggarap maupun mendanai program hiburan, lomba dan menghadiri kegiatan keagamaan tertentu, agar dapat terlihat bersahabat dengan masyarakat sekaligus bentuk mengkampanyekan kharisma personal. 

Perputaran uang menjelang pemilu dapat meningkat dengan tajam, dikarenakan masing masing kontestan melalui tim sukses (TIMSES) menggelontorkan anggaran untuk dikonversikan sebagai modal sosial. 

Euforia demokrasi memang tampak larut dirasakan masyarakat, gegap gempita bak pesta besar turut dinikmati masyarakat sebagai calon pangsa pasar suara, dikarenakan tiap masyarakat punya pandangan selera yang beragam mengenai kriteria figure pemimpin.

Konsekuensi logis dari fenomena tersebut dapat mengakibatkan polarisasi di lingkungan masyarakat, ada yang tendensi terhadap asas primordialitas, standar good looking, status klerikal (agamawan), latarbelakang ekonomi, popularitas hingga gagasan visioner dan keterampilan leadership, namun dari sekian banyak sample kriteria tersebut, sangat jarang dijumpai pemilih yang menautkan kriteria keterampilan leadership dan gagasan visioner dari kandidat. 

Semenjak diadakan pemilihan langsung pada tahun 2004 sampai PEMILU di periode terkahir, semarak pemilu berhasil menyita atensi public, hal ini dapat dilihat dari seputar topik berita yang marak muncul di televisi, media cetak hingga media sosial, sehingga memicu pembahasan yang menarik, baik dari tingkat tongkorangan warung kopi hingga level structural birokratis. 

Di lapisan akar rumput, obrolan mengenai politik, agaknya masih tabu dan sensitive, karena dapat berdampak pada dikotomi golongan, masih segar di benak masyarakat Indonesia, pada pemilu 2019 lalu. 

Penggolongan pihak pemilih pasangan calon presiden terbelah menjadi dua kelompok, yaitu cebong dan kampret, perdebatan antar dua kelompok tersebut sarat akan sinisme bahkan berpotensi permusuhan. 

Peran penyelenggara PEMILU selaku instansi formal yang memiliki legitimasi untuk menjamin berlangsungnya proses pemilihan yang kondusif dan akuntabel, harusnya mampu meredam dan mengedukasi masyarakat untuk tidak terjebak pada sentiment. 

Jika saja proses sosialisasi dan mediasi tersebut dijalankan oleh pihak penyelenggara PEMILU maupun melibatkan mitra sinergis, maka konflik horizontal antar masyarakat selaku pemilih PEMILU tidak akan berlarut-larut dan dapat dewasa menyikapi fenomena politik. 

Peristiwa polarisasi di segmen PEMILU belakangan, merupakan bentuk evaluasi menghadapi periode lanjutan yang berlangsung rutin dalam proses kontestasi politik di Indonesia. 

Dalam kurun waktu yang tidak lama lagi agenda per lima tahunan tersebut bakal berlangsung, tentu harapan besar dari seluruh masyarakat menghendaki bahwa ajang pemilihan wakil rakyat dan pemimpin di pemerintahan dapat terlaksana secara ideal. 

Kategori :