Polemik Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup; Catatan Kritis Terhadap Kepemiluan dan Partai Politik

Kamis 15-06-2023,05:44 WIB
Editor : Dian

Agak keliru rasanya menyatakan bahwa PEMILU dikatakan pesta demokrasi bagi masyarakat, mengingat banyaknya catatan hitam dari proses berlangsungnya di periode terakhir, lebih tepatnya seremoni tersebut dikatakan sebagai proses pseudo demokrasi, karena banyak kesemuan dalam kesemuaanya.

Di setiap negara yang menganut demokrasi, mekanisme pemiliha wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan dilangsungkan secara pemilihan, masyarakat diminta untuk memilih nominasi calon yang telah lulus verifikasi berdasarkan regulasi yang ditetapkan pihak penyelenggara. 

Berdasarkan asasnya, Indonesia menganut 6 Point dalam pelaksanaan PEMILU, yaitu: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil. 

Pada pelaksanaannya, pemilihan secara langsung, umum dan rahasia dapat berjalan kondusif, namun pada asas kebebasan, kejujuran dan keadilan banyak terjadi kasus pelanggaran. 

Sebut saja missal praktik iming iming hadiah maupun gratifikasi dengan uang, untuk mempengaruhi pemilih menjatuhkan pilihan kepada nominasi calon tertentu, praktik gratifikasi ini menciderai asas kebebasan dalam pemilihan karena si pemilih mendapatkan intervensi melalui uang, ditambah lagi masyarakat arus bawah masih bermental permissive sehingga rentan terpengaruh oleh bentuk transaksiona. 

Disisi lain, pembudayaan transaksional pada pemilu dalam bentuk penyogokan, mendidik masyarakat bahwa pemilu merupakan ajang sawer suara dan dampak desktruktifnya terhadap mentalitas kolektif adalah memperbesar libido oportunistik. 

Kasus kejujuran juga menjadi objek sorotan, terkhusus kepada pihak penyelenggara, yang rawan melakukan kecurangan dalam hal penggelembungan suara, rednotice terhadap seleksi calon penyelenggara yang sudah terkooptasi netralitasnya karena sengaja dipasang oleh kandidat calon untuk dapat mengakomodir kepentingan. 

Sedari awal harusnya tim seleksi dapat menetapkan verifikasi yang ketat untuk memonitor rekam jejak dan keterkaitan khusus calon penyelenggara, agar dapat terhindar dari kasus pelanggaran PEMILU dan mengantisipasi keberpihakan terhadap golongan calon yang berkontestasi, indikasi kecurangan terbesar dapat terjadi dalam internal penyelenggara, dikarenakan legitimasi dan privasi pihak penyelenggara dapat berpotensi melakukan manipulasi. 

Suatu implikasi yang kuat atas marak terjadinya kasus kecurangan dalam hal kejujuran, hal ini akan berdampak langsung pada aspek keadilan, pasti ada pihak yang dirugikan akibat pelanggaran tersebut dan mempengaruhi kekacauan system kepemiluan.

Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) sepanjang PEMILU 2019 per tanggal 4 November 2019, terdapat 4 kategori pelanggaran bersarkan intensitas nya, adapun kriteria nya sebagai berikut : pelanggaran administrasi terdapat 16.134 kasus, pelanggaran kode etik sebanyak 373 kasus, pelanggaran pidana 583 kasus dan pelanggaran hukum lainya sebanyak 1475 kasus (https://www.bawaslu.go.id). 

Dari penjelasan tersebut banyak sekali kasus pelanggaran yang merongrong iklim demokrasi di Indonesia,  besararan volume kasus tersebut mendankan bahwa terdapat kesalahan secara sistemik, artinya penyebab tingkat fatalitas tersebut dilakukan oleh sindikat yang bergerombol, memanfaatkan momentum PEMILU sebagai ajang panen raya anggran untuk dinikmati segenlir pihak. 

Terjadinya fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab, ongkos pencalonan yang tinggi dan lazimnya budaya korupsi mempengaruhi perilaku politik dari pihak penyelenggara maupun kandidat. 

Pihak kandidat yang memiliki keterbatasan anggran, mengaharuskan mencari donatur untuk mennsupply kas finansial yang diperuntukan untuk mendanani biaya kampanye, memobilisasi TIMSES, belanja inventaris asset dan secretariat pemenangan, serta menjalin mitra jaringan kerja, sedangkan pada sisi penyelenggaraan, calon panitia yang hendak mendaftar tentu harus memiliki garantor, ataupun patron agar dapat memfasilitasi perjalanan proses hingga penetapan final.

Dikutip dari laman litbang kemendagri, ongkos pencalonan legislative dari tingkat daerah hingga nasional memakan biaya paling minimal dari tarif ratusan juta jingga miliaran. 

Adapun rincian nya sebagai berikut ; biaya minimal untuk tingkat DPR RI senilai 1-2 miliar, tingkat DPR Provinsi 500 juta-1 miliar, dan tingkat kabupaten kota senilai 250-300 juta (https://litbang.kemendagri.go.id/website/biaya-yang-dikeluarkan-untuk-nyaleg-menurut-riset/). 

Untuk Sebagian umum masyarakat, biaya tersebut terbilang sangat tinggi dan tentunya menjadi gap untuk masyarakat yang mempunyai kapasitas kepemimpinan dan gagasan visioner untuk masuk ke tahap pencalonan, kalaupun ada pihak yang siap mendanai, tentu independensi dalam penyusunan program kerja yang akan dijalankan dapat terredusir oleh kontrak sosial lewat hubungan patronase tersebut. 

Kategori :