Diskriminasi terhadap komunitas Cina merupakan warisan sejarah masa lampau ketika Belanda menerapkan politik devide et impera. Politik memecah belah Belanda yang dilakukan dengan cara membagi penduduk Indonesia dalam tiga golongan: Eropa, Timur asing seperti Cina, India, dan Arab, dan Pribumi.
Di antara ketiga golongan ini, pribumilah yang paling jauh ketinggalan, baik secara ekonomi maupun sosial.
Perbedaan tersebut digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengadu domba dengan menggambarkan seolah-olah pribumi itu, tidak jujur, bodoh, selalu memusuhi orang Cina.
Sebaliknya orang Cina digambarkan sebagai suatu komunitas yang licik, kikir, dan serigala ekonomi. Politik ini membuat timbulnya kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap komunitas Cina.
BACA JUGA:Arca Manusia Tanpa Kepala
Orang pribumi awalnya memberikan kesempatan kepada orang Cina, untuk lebih bergerak dan memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi. Akibatnya orang Cina memegang status sosial ekonomi lebih tinggi dari pada penduduk pribumi.
Kebanyakan kehidupan orang pribumi masih dalam tingkat hidup prihatin, jauh seperti yang dirasakan oleh orang keturunan Cina. Orang pribumi merasa tidak senang terhadap orang Cina yang hidup mewah, bersikap angkuh, dan kurang merasa simpati terhadap orang pribumi. Orang Cina menganggap orang pribumi remeh dan rendah.
Pasca Indonesia merdeka belum ada kebijakan resmi menyangkut kewarganegaraan Indonesia. Pada bulan September 1946, Wakil Presiden Hatta meyakinkan orang Cina lokal bahwa Cina yang warga negara akan mendapatkan kedudukan dan hak yang sama dengan orang pribumi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Indonesia memastikan tempat kelahiran sebagai patokan penentuan status kewarganegaraan Indonesia. Tapi Presiden Cina Daratan, Choe En-lai, pada 1955 menetapkan Republik Rakyat Cina menganut sistem kewarganegaraan berdasarkan keturunan. Chou En-lai mengklaim semua etnis Cina di seluruh dunia sebagai warga negara Republik Rakyat Cina.
BACA JUGA:Selamat, Ketua BADAR Lahat Dapat Tambahan Amanah Baru di Kompleknya
Untuk keturunan Cina di Indonesia, Chou En-lai membujuk Presiden Sukarno agar membuat perjanjian bilateral. Bersamaan dengan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia dan Cina membuat perjanjian Dwi Kewarganegaraan bagi keturunan Cina di Indonesia.
Pengusaha Cina menjadi satu-satunya sumber kredit bagi para pengusaha pribumi, saat Indonesia dilanda krisis moneter. Selama revolusi fisik, di daerah-daerah pendudukan Belanda, orang Cina tetap menjalankan perdagangan dan mendapat kepercayaan serta monopoli dari Belanda.
Belanda meninggalkan Indonesia tahun 1950, kekosongan perdagangan di daerah-daerah dengan cepat diisi orang Cina, sehingga dengan demikian orang Cina makin menguasai kehidupan ekonomi perdagangan.
Sebagian besar orang Cina menguasai perusahaan besar, perantara, perusahaan kecil, dan pengecer.
BACA JUGA:Harga Ayam Tembus Rp34 Ribu Buah Anggur Rp80 Ribu di PTM Square Lahat
Pemerintah mulai melakukan pembatasan-pembatasan usaha kepada orang-orang Cina, khususnya bagi mereka yang masih Warga Negara Asing.