Pembatasan ini berlaku dengan adanya Program Benteng tahun 1950 yang diprakarsai Sumitro Djojohadikusumo.
Program ini dimaksudkan membentuk pengusaha pribumi yang kuat ternyata mengalami kegagalan.
Hal ini terjadi karena tumbuh dan smaraknya “kolusi” di antara pengusaha Cina dengan penguasa melalui partai-partai politik. Untuk mendapatkan izin beroperasinya perusahaan dagang begitu mudah meskipun harus melalui lobi-lobi.
BACA JUGA:Selamat, Ketua BADAR Lahat Dapat Tambahan Amanah Baru di Kompleknya
Masalah yang dihadapi komunitas Cina di Yogyakarta semakin sulit ketika pemerintah mengeluarkan PP 10 tahun 1959 yang mengusir keluar orang Cina dari pedesaan dan kecamatan menuju perkotaan.
Kegiatan dagang orang Cina hanya boleh dilakukan dalam ibukota pemerintah daerah. Kebijakan ini mengakibatkan puluan ribu orang Cina terpaksa kembali ke daratan Tiongkok ketimbang menanggung beban kesulitan di tempat tinggal yang baru.
Pada masa pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia dari tahun 1942-1945. Jepang membuat peraturan mengenai pemerintahan Jepang yang ditujukan kepada kepentingan dan usaha perang.
Tujuannya untuk menanamkan kekuasaan dan mempertahankan penjajahan Jepang di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Hal ini membuat masyarakat Yogyakarta mengalami kemunduran dalam bidang sosial, ekonomi dan pendidikan.
BACA JUGA:Harga Ayam Tembus Rp34 Ribu Buah Anggur Rp80 Ribu di PTM Square Lahat
Bidang pendidikan, sekolah-sekolah buatan Belanda dibubarkan dan bagi masyarakat Cina didirikan satu sekolah khusus. Bidang sosial, keadaan di daerah Yogyakarta sangat menyedihkan.
Daerah-daerah membentuk Panitia Penyerahan Romusha (PPR) yang berkewajiban untuk menyerahkan tenaga romusha berdasarkan laporan sementara atau daftar sementara. Bidang ekonomi, banyak terjadi perampokan-perampokan yang dilakukan oleh penduduk.
Keadaan ini menimbulkan kekacauan di lapangan dapat mengetahui bagaimana keadaan Yogyakarta pada waktu itu baik dari segi pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Pada masa kolonial sampai awal kemerdekaan identitas orang Cina ditentukan oleh Totok atau Peranakan maka pada masa pasca kemerdekaan identitas tersebut ditambah dengan istilah Cina Warga Negara Asing dan Cina Warga Negara Indonesia keturunan.
BACA JUGA:Jemaah Haji Lahat Sedang OTW dari Jeddah ke Makkah
Status kewarganegaraan tersebut harus mereka pilih agar tidak terjadi kewarganegaraan ganda atau dwi kewarganegaraan. Oleh karena itu Badan Pekerja KNIP mengeluarkan Undang-undang Kewarganegaraan dan Penduduk Indonesia pada tanggal 10 April 1946 yang disebut UU No.3/1946.
Undang-undang ini menganut sistem pasif, artinya bagi orang-orang keturunan asing, termasuk orangorang keturunan Cina, yang secara tidak aktif melakukan penolakannya terhadap kewarganegaraan Indonesia dianggap telah memilih kewarganegaraan Indonesia.