Proporsi Depresi Postpartum dan Hubungannya dengan Jenis Persalinan dan Paritas
Novy Ratnasari Sinulingga, S.Tr.Keb., M.Keb menulis artikel berjudul Proporsi Depresi Postpartum dan Hubungannya dengan Jenis Persalinan dan Paritas.-foto: lahatpos.co-
Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita yang melahirkan melalui seksio sesarea, terutama seksio sesarea darurat, lebih berisiko mengalami depresi pascapersalinan (Ilska et al., 2020; Sun et al., 2021; Zanardo et al., 2018). Tetapi penelitian lain masih tidak menemukan hubungan antara jenis persalinan dengan depresi pascapersalinan (Goker et al., 2012; Rauh et al., 2012; Sword et al., 2011).
Faktor risiko lain yang terkait dengan depresi pascapersalinan adalah paritas. Depresi pascapersalinan dua kali berisiko terjadi pada primipara (Tikmani et al., 2016). Primipara lebih banyak mengalami ketidaknyamanan dan masalah pada masa pascapersalinan.
Peran menjadi seorang ibu baru dapat menjadi pemicu terjadinya depresi pascapersalinan (Dubey et al., 2021; Kendall-Tackett, 2017). Multipara juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya depresi pascapersalinan, dimana banyak anak dapat memicu terjadinya stres pada ibu pascapersalinan (Adeyemo et al., 2020).
Penelitian lainnya masih menemukan tidak terdapat hubungan paritas dengan depresi pascapersalinan (Fatmawati & Gartika, 2021). Hasil penelitian yang cukup beragam terkait faktor risiko dan sedikitnya gambaran proporsi kejadian depresi pascapersalinan khususnya di Puskesmas Andalas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi depresi pascapersalinan serta hubungannya dengan jenis persalinan dan paritas.
Depresi pascapersalinan didifinisikan berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V sebagai depresi mayor yang dimana onset gejala depresi (perubahan suasana hati, masalah tidur, dan melukai diri sendiri) terjadi selama kehamilan atau dalam empat minggu pascapersalinan (Kendall-Tackett, 2017).
Depresi yang terjadi lebih dari empat minggu pascapersalinan (tidak memenuhi kriteria depresi mayor) masih dapat berdampak buruk dan memerlukan perawatan. Nonpsychotic puerperal depression dalam pelayanan dan penelitian klinis didefinisikan secara bervariasi sebagai depresi yang terjadi pada 1, 3, 6, atau 12 bulan pascapersalinan (Stewart & Vigod, 2016).
Persalinan merupakan proses fisiologis dimana hasil konsepsi dikeluarkan dari rahim baik secara pervaginam (normal/intervensi) atau seksio sesarea (darurat/elektif), dan selanjutnya masa nifas dimulai (Nurhayati, 2019; Steegers et al., 2019).
Penelitian ini menunjukkan bahwa jenis persalinan tidak ada hubungan yang signifikan dengan depresi pascapersalinan (p=0,812) seperti pada (Tabel 3.). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Meky et al., 2020). Ibu dengan seksio sesarea 1,34 kali berisiko mengalami depresi pascapersalinan dibanding pervaginam (Sun et al., 2021).
Stres diakibatkan pembedahan akan menghambat 5-hydroxytryptamine (5-HT) di otak, sehingga terjadi peningkatan kortisol yang dapat memicu kerentanan terhadap depresi pascapersalinan. Kortisol merupakan hormon yang disekresi akibat adanya respons stres (Dinan, 1994; Edwards et al., 1994; Sun et al., 2021).
Dampak pembedahan seperti peradangan, nyeri, dan stres secara teoritis dapat meningkatkan wanita rentan terhadap depresi pascapersalinan (Eckerdal et al., 2018). Ibu dengan seksio sesarea biasanya tingkat oksitosin lebih rendah dibandingkan pervaginam.
Oksitosin akan membantu mengurangi stres dan meningkatkan rasa bahagia yang akan mengurangi kerentanan terjadinya masalah psikologis pascapersalinan (Kim & Dee, 2018; Lonstein et al., 2017; Mottolese et al., 2014; Sun et al., 2021). Ibu dengan seksio sesarea kurang percaya diri dikarenakan tidak bisa melahirkan secara alami serta adaptasi kehidupan pascapersalinan akan menyebabkan masalah psikologis dan kemudian berkembang menjadi depresi pascapersalinan (Loto et al., 2010).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya gejala depresi pascapersalinan lebih banyak dialami pada kelompok pervaginam (38,6%) dibandingkan dengan seksio sesarea (35,1%). Kondisi ini sama dengan sebuah penelitian yang menemukan depresi pascapersalinan lebih banyak dialami pada kelompok pervaginam dibandingkan seksio sesarea, namun tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik (Liu et al., 2017).
Sebuah penelitian lainnya melaporkan bahwa seksio sesarea merupakan faktor protektif untuk depresi postpartum dalam beberapa kasus (Chaaya et al., 2006).
Pengalaman persalinan yang negatif dapat memicu perkembangan Post-traumatic stress disorder (Steegers et al., 2019). Peningkatan sekresi kortisol selama persalinan pervaginam, emosi negatif, dan adaptasi kehidupan pasca melahirkan juga dapat memicu masalah psikologis pada seorang ibu.
Penelitian ini tidak membedakan antara kelompok seksio sesarea (darurat/elektif) atau pervaginam (normal/intervensi) dapat menjadi penyebab yang menunjukkan tidak adanya hubungan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Berbagai faktor baik satu ataupun secara komprehensif dapat memengaruhi terjadinya depresi pascapersalinan (Sun et al., 2021).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: