Pada Januari 1828, dia menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Dia menikah ketujuh kalinya dengan Raden Ayu Ratnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan. Adapun pernikahan terakhirnya adalah dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.
Dari beberapa kali pernikahannya tersebut, Diponegoro memiliki 12 putra dan lima orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.
Perang Diponegoro (1825–1830)
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan pemerintah kolonial Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut diperparah dengan beberapa kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan.
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan sejarah di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda mengenai penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro.
Dia disebutkan merasa sakit hati terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Perlawanan yang dilakukan sebenarnya disebabkan karena dirinya ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Belanda dan membebaskan istana dari madat.
Keputusan dan sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, G.P.H. Mangkubumi, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di Gua Selarong.
Saat itu, dia menyatakan bahwa perlawanannya adalah “perang salib”, yaitu perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang salib” yang dikobarkannya membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Medan pertempurannya mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.
Taktik Belanda dalam Perang Diponegoro
Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal.
Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sangat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu, suatu hal yang belum pernah terjadi di suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Berdasarkan sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern, baik metode open warfare (perang terbuka) maupun metode guerilla warfare (perang gerilya) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run (tabrak lari) dan pengadangan.
Ini bukanlah sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini dilengkapi dengan taktik psywar (perang urat saraf) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan, serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Selain itu, perang ini juga menggunakan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.