Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi bahwa masalah politik akan dituntaskan hari itu juga.
Diponegoro langsung berbicara dan menuding De Kock hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Dia berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah kolonial Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.
De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro menjawab tindakan itu dengan mengatakan, “Dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, aku tidak takut mati. Aku tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya”.
De Kock terhenyak mendengar sikap keras Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh Diponegoro. Namun, tetap akan memenuhi keinginan Diponegoro. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, tetapi niat itu diurungkan karena akan merendahkan martabatnya.
Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, Diponegoro beranjak keluar dan dia berhasil ditangkap. Dia bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, dia diasingkan ke Gedung Keresidenan Semarang yang berada di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Dia kemudian diasingkan ke Manado pada 30 April 1830 bersama istri keenamnya, Tumenggung Dipasena, dan para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna.
Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Biografi Pangeran Diponegoro dan Perannya dalam Perang Jawa 1825–1830. Menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, seperti halnya Pangeran Diponegoro tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka. (*)