Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro--
Berdasarkan sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern, baik metode open warfare (perang terbuka) maupun metode guerilla warfare (perang gerilya) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run (tabrak lari) dan pengadangan.
Ini bukanlah sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini dilengkapi dengan taktik psywar (perang urat saraf) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan, serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Selain itu, perang ini juga menggunakan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Belanda untuk menangkap Diponegoro, bahkan sayembara pun digunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829, yaitu siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro, baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.
Perubahan strategi Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya dari Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel).
Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antarbenteng berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.
Perlawanan Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, yaitu setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828. Disusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828. Keadaan itu semakin diperparah karena pasukan Diponegoro kesulitan biaya, serta istrinya R.A Ratnaningsih dan putranya tertangkap pada 14 Oktober 1829.
Negosiasi dan Pengkhianatan
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu Sungai Cingcingguling.
Selanjutnya, pertemuan pada 20 Februari 1830 di antara kedua belah pihak tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggunya di Menoreh. Dia akhirnya tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama berada di Magelang, seluruh pasukan dan pengikutnya ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Diponegoro dengan memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang sebesar f 10.000 yang dicicil dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. De Kock juga mengizinkan istri sang pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil (Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib), putra tertuanya yang berada di Kedu Utara (Basah Imam Musbah) bergabung di Magelang.
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkannya telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengannya sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan.
Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa Diponegoro tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing tanah Jawi sedaya (raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam).
Setelah itu, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya pada 25 Maret 1830, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan Diponegoro.
Akhirnya, tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Idulfitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: