Founder Drone Emprit : Literasi Digital Masyarakat Rendah, Banyak Like dan Share Dianggap Benar

Founder Drone Emprit : Literasi Digital Masyarakat Rendah, Banyak Like dan Share Dianggap Benar

Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi menjadi salah satu saksi dalam sidang etik 5 anggota DPR RI. (Youtube)--

Founder Drone Emprit : Literasi Digital Masyarakat Rendah, Banyak Like dan Share Dianggap Benar

JAKARTA, LAHATPOS.CO - Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi menjadi salah satu saksi dalam sidang etik 5 anggota DPR RI. Adapun kelima anggota DPR RI itu adalah Adies Kadir, Nafa Urbach, Surya Utama, Eko Hendro Purnomo, dan Ahmad Sahroni.

Dalam kesempatan ini, Ismail menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia senang mengikuti sebuah tren di media sosial.

Menurutnya, saat ini banyak orang tidak lagi mengukur kebenaran berdasarkan data, riset, atau akurasi, melainkan dari seberapa ramai suatu pernyataan atau video diperbincangkan di media sosial.

"Ini kaitannya tuh dengan adanya bias. Jadi masyarakat kita itu, bahkan sekarang itu ada tren. Yang namanya kebenaran itu bukan yang paling benar menurut data, riset atau akurasi, tetapi sering pernyataan video yang paling banyak dikomentarin, banyak di-like, banyak di-share ramai-ramai, itu dianggap sebagai benar," kata Ismail di MKD DPR RI, Senin, 3 November 2025.

Ia menjelaskan, kondisi tersebut muncul karena rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak pengguna media sosial yang tidak memiliki kemampuan memadai untuk memverifikasi informasi yang mereka terima.

“Ini, persepsi ya, ini namanya bias. Jadi ada bias karena orang ramai-ramai menshare itu. Dan ini hubungannya sebetulnya dengan literasi digital. Dan kalau kita tahu literasi digital masyarakat kita tuh masih sangat lemah, sehingga ketika dikasih informasi entah itu benar atau salah sulit buat mereka untuk melakukan verifikasi," ungkapnya.

"Jadi niat untuk melakukan verifikasi itu sangat kecil. Mereka cenderung untuk kemudian mengkonsumsi dan menyebarkan, gitu," sambung dia.

Lebih lanjut, Fahmi menjelaskan kondisi ini diperparah dengan adanya potongan-potongan video aksi anggota DPR yang dinilai memicu emosi publik.

Ismail menjelaskan, disinformasi di media sosial sering menyebar dengan kecepatan luar biasa karena mekanisme algoritma platform yang mendorong konten viral. 

Sementara itu, klarifikasi dan verifikasi, meski dilakukan, tidak mampu menyaingi laju penyebaran hoaks.

“Hoaks dan disinformasi menyebar seperti naik mobil Ferrari. Namun, klarifikasinya sering disampaikan dengan cara yang kering dan lambat,” ungkapnya

Pengamat Media Sosial ini menjelaskan fenomena context collapse atau keruntuhan konteks di media sosial, di mana potongan video kehilangan makna aslinya ketika disajikan dengan narasi berbeda.

“Tadi video yang terakhir sebetulnya sudah agak benar cuma narasinya agak beda. Videonya lengkap, anggota dewan karena memang lagi ada musik, ikut menghargai, ikut dancing,” katanya.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: