Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah dalam kitab Lathaiful Ma’arif berkata: “Sesungguhnya jiwa sangat condong kepada apa yang menjadi kebutuhannya, seperti makan, minum, dan hubungan suami istri. Jika tiga hal itu dilarang pada waktu tertentu, kemudian diperbolehkan untuk dilakukan, terutama pada waktu yang sangat dibutuhkan, maka jiwa akan merasakan kebahagiaan.
Kebahagiaan sesungguhnya ada pada saat kita mendapatkan ridha Allah. Dengan cara melakukan apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan menjauhi apa yang Allah dan Rasul-Nya larang, inilah nilai ketakwaan. Ketika seorang mukmin dihalalkan untuk makan, minum, dan hubungan suami istri kapanpun dan dimanapun, padahal tiga hal itu sangat dibutuhkan oleh setiap jiwa, namun ia tinggalkan itu karena perintah Allah dan Rasul-Nya, ketika mereka mampu untuk meninggalkannya karena keimanan dan harapan ganjaran dari Allah. Maka mereka akan menemukan kebahagiaan.”
Semua amal Anak Adam pahalanya dilipat-gandakan. Setiap satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya. Hingga menjadi tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Kecuali (lipat ganda pahala) puasa. Sesungguhnya puasa itu untukku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Karena dia telah meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku’.
Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan. Kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat berjumpa dengan Rabbnya. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau misk.” [HR. Muslim 1151].
Dari hadits ini, Allah hendak menjelaskan kepada kita bahwa pahala puasa tidak terbatas sepuluh kali lipat atau sebanyak tujuh ratus kali lipat, lebih dari itu semua. Mengapa? Karena yang tau seseorang berpuasa atau tidak itu hakikatnya adalah dirinya dengan Allah saja.
Dia berharap, takut, dan harap hanya kepada Allah. Sehingga Allah lah yang akan membalasnya hingga nanti Allah sempurnakan balasnya di akhirat kelak sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada-Nya.
Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ
“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa’ -dua kali-.” [HR. Al-Bukhari].
Maksudnya: puasa itu menghalangi dan melindungi seseorang dari apa yang ditakutkan. puasa yang dikerjakan seseorang bisa menghalangi dan melindunginya dari mengerjakan maksiat. Maksiat itu adalah sebab seseorang mendapat siksa neraka.
Semoga kita mendapatkan hikmah yang berharga dan keberkahan di bulan Ramadhan ini. Amin ya rabbal ‘alamin.
Oleh : Ibrahim Amir / Wakil Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Lahat