Pengakuan Ahyudin, Bekas Presiden ACT yang Dipaksa Mundur

Senin 04-07-2022,09:24 WIB
Reporter : Dian
Editor : Dian

TUJUH belas tahun memimpin Aksi Cepat Tanggap (ACT), lembaga yang mengelola dana publik untuk kegiatan kemanusiaan, Ahyudin lengser pada 11 Januari lalu. Namun pendiri ACT itu baru mengumumkan pengunduran dirinya melalui akun Facebook “Ahyudin Gmc” pada pertengahan April lalu. “Dengan sebab-sebab yang amat saya sesalkan dan saya prihatinkan,” tulis Ahyudin.

Ketika berkunjung ke kantor Tempo pada Jumat, 1 Juli lalu, Ahyudin bercerita bahwa pada 11 Januari itu datang rombongan yang terdiri atas sekitar 40 orang ke ruang kerjanya. Mereka dipimpin tim Pengawas Yayasan ACT. Hadir juga Presiden ACT Ibnu Khajar serta anggota Dewan Pembina ACT, Imam Akbari dan Hariyana Hermain.

Menurut Ahyudin, mereka memaksa dia menandatangani surat pengunduran diri hari itu juga. Permintaan Ahyudin agar ia diberi waktu satu malam untuk berpikir langsung ditolak. “Mereka mengancam tidak akan ke luar ruangan sebelum saya tanda tangan,” ujar Ahyudin.

Bekas Direktur Masyarakat Relawan Indonesia, organisasi yang berada di bawah Yayasan ACT, Tengku Mustafa Tiba, mengatakan mereka yang datang sampai menuding- nuding bosnya. Tak mau ada keributan, Ahyudin akhirnya menandatangani surat pengunduran diri. Melepas jabatan tertinggi di ACT dan organisasi terkait lain, ia kini mendirikan Global Moeslim Charity.

Namun Presiden ACT Ibnu Khajar membantah tudingan Ahyudin. Ia mengatakan para petinggi ACT meminta Ahyudin mundur baik-baik. Dewan Syariah ACT pun memberi nasihat untuk segera meregenerasi kepemimpinan lembaga itu. “Suasananya enak, kami bersalaman, bahkan salat zuhur berjemaah,” kata Ibnu saat menyambangi kantor Tempo pada Selasa, 28 Juni lalu.

Ibnu enggan menjelaskan alasan petinggi ACT meminta Ahyudin mundur. Namun sejumlah narasumber yang ditemui Tempo sejak Januari lalu mengatakan mundurnya Ahyudin disebabkan oleh krisis keuangan yang melanda ACT. Indikasinya, lembaga yang mengumpulkan rata-rata Rp 540 miliar per tahun pada 2018-2020 itu memotong gaji karyawan hingga lebih dari 50 persen pada Oktober- Desember 2021.

Kepada jurnalis majalah ini, seorang karyawan ACT menunjukkan bukti transfer gaji yang diterimanya pada Oktober tahun lalu, yaitu Rp 5,931 juta. Padahal, bulan sebelumnya, dia masih menerima gaji utuh sebagai manajer sebesar Rp 14,1 juta. Karyawan ini bercerita, ACT juga menghilangkan fasilitas makan siang yang saban hari tersedia di lantai 9, 10, 11, dan 22 Menara 165, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kantor pusat ACT.

Di tengah kondisi itu, muncul pesan elektronik berisi permintaan pencairan duit Rp 11,726 miliar untuk pembangunan Masjid Dermawan dan kawasan Pesantren Peradaban tahap II. Dua proyek tersebut berada di Desa Cintabodas, Kecamatan Culamega, Tasikmalaya, Jawa Barat. Cintabodas adalah kampung halaman Ahyudin.

BACA JUGA:Talang Bengkurat Lahat Miliki Pondok Pesantren Alwasliyah

Duit itu diminta dicairkan pada Senin, 3 Januari lalu.

Adapun rekening penerima duit itu atas nama Rosman, adik kandung Ahyudin. Dalam waktu cepat, informasi itu beredar di berbagai grup karyawan, disusul pesan berantai soal rencana menggulingkan Ahyudin.

Ditemui Tempo di rumahnya di Cintabodas, Rosman membenarkan adanya rencana pembangunan pesantren dan masjid. “Dulu memang ada rencana pembangunan oleh ACT, tapi hingga sekarang tak ada uang yang ditransfer,” ujarnya. Senior Vice President ACT Hariyana Hermain juga membantah ada transfer dana Rp 11 miliar ke rekening Rosman.

Sejumlah anggota staf dan mantan petinggi ACT mengatakan krisis keuangan yang melanda lembaga itu diduga disebabkan oleh berbagai pemborosan dan penyelewengan selama bertahun-tahun. Pemborosan, misalnya, terlihat dari gaji petinggi ACT yang fantastis.

Gaji Ahyudin saat masih menjabat Ketua Dewan Pembina ACT disebut-sebut lebih dari Rp 250 juta per bulan.

Sedangkan pejabat di bawah Ahyudin, seperti senior vice president, beroleh upah sekitar Rp 150 juta. Adapun vice president mendapat Rp 80 juta per bulan. Di bawahnya, level direktur eksekutif digaji sekitar Rp 50 juta dan direktur mendapat Rp 30 juta.

Dua mantan petinggi ACT yang ditemui Tempo membenarkan besaran gaji tersebut. Keduanya bercerita, gaji yang diterima dalam setahun bisa mencapai 18 kali karena ada beraneka ragam bonus. Saat Idul Adha, misalnya, mereka mendapat satu kali gaji “bonus kurban”. Petinggi ACT juga menerima ekstra gaji ketika tahun ajaran baru tiba. Bonus lain diterima jika jumlah donasi suatu program melebihi target.

Tak hanya menerima gaji besar, para petinggi ACT pun mendapat fasilitas mobil. Ahyudin, misalnya, mendapat tiga mobil, yaitu Toyota Alphard, Mitsubishi Pajero Sport, dan Honda CR-V. Pejabat di bawahnya hingga tingkat vice president pun mendapat Pajero Sport. Adapun direktur eksekutif dan direktur masing-masing mendapat Toyota Innova dan Avanza.

Seorang mantan vice president bercerita, ketika ia baru diangkat ke posisi itu, satu anggota staf sumber daya manusia mengatakan Pajero anyar siap diantar langsung ke rumahnya. Berdasarkan catatan yang diperoleh Tempo dari pihak internal ACT, sebelum Ahyudin mundur, lembaga itu memiliki 1 presiden, 3 senior vice president, 10 vice president, 14 direktur eksekutif, dan 16 direktur.

Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Ahyudin menyebutkan gaji yang diperolehnya setiap bulan. Namun belakangan ia meminta nominal itu tak disebut. Ahyudin mengaku bergaji besar dan memberikan gaji besar untuk karyawan ACT. “Saya pasang tinggi gajinya. Saya paksa kerja habis-habisan supaya ACT bisa mempersembahkan program yang baik,” ucapnya.

BACA JUGA:Presiden RI Joko Widodo Ucapkan Selamat, Apriyani/Fadia Juara Malaysia Open 2022

Ahyudin mengklaim mengembalikan 25 persen gajinya setiap bulan ke rekening ACT sebagai donasi. Ia membenarkan ihwal fasilitas mobil dan perjalanan dinas kelas satu yang diterimanya. Namun ia mengatakan fasilitas itu sesuai dengan plafon yang telah disetujui semua pemimpin ACT.

Adapun Presiden ACT Ibnu Khajar mengatakan faktor mobil mewah itu turut menyebabkan peristiwa 11 Januari, yaitu lengsernya Ahyudin. “Inilah kenapa akhirnya terjadi peristiwa Januari, supaya kebijakan ini segera berhenti,” ujar Ibnu. Tapi Ibnu membantah kabar nominal gaji yang fantastis. “Angkanya tidak sebesar itu.”

Gaji yang diterima petinggi Aksi Cepat Tanggap terlihat jomplang bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan gaji di lembaga filantropi lain. Gaji tertinggi di Dompet Dhuafa, misalnya, sebesar Rp 40 juta. “Yang lain di bawah Rp 30 juta,” tutur Direktur Komunikasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa Bambang Suherman.

Sedangkan gaji petinggi di lembaga Rumah Zakat lebih kecil. “Gaji tertinggi di lembaga kami tidak lebih dari Rp 25 juta,” kata Direktur Pemasaran Rumah Zakat Irvan

Nugraha, lalu tertawa, Senin, 27 Juni lalu.

Sebagai pembanding, donasi yang dihimpun ACT pada 2020 setidaknya mencapai Rp 462 miliar. Sedangkan Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat masing-masing menghimpun dana donatur Rp 375 miliar dan Rp 224 miliar pada 2020.

Ibnu Khajar mengklaim ACT telah mengakhiri segala kemewahan itu. “Saya sebagai Presiden ACT sekarang pakai Innova,” ujarnya. Ia menyatakan semua mobil mewah yang dimiliki ACT dijual untuk menambah dana lembaga. Adapun Direktur Komunikasi ACT Ade M. Yusup mengatakan kini mobil dinas petinggi ACT tak bersifat personal dan bisa digunakan untuk kegiatan dinas anak buahnya.

•••

TAK hanya menerima gaji dan fasilitas tinggi, para petinggi Aksi Cepat Tanggap ditengarai juga mendulang uang dari unit bisnis yang ada di bawah lembaga itu.

Salah satunya berasal dari PT Hydro Perdana Retailindo. Perusahaan yang mengelola jaringan minimarket Sodaqo Mart ini pernah berada di bawah Aksi Cepat Tanggap sebelum aktanya diubah pada 5 Juni 2020.

Akta PT Hydro menyebutkan, semula 75 persen saham perusahaan itu—setara dengan Rp 750 juta—dikuasai oleh PT Global Itqon Semesta. Sisanya dipegang oleh Syahru Aryansyah, yang menjabat Direktur Utama Hydro. Adapun 40 persen saham Global Itqon dimiliki oleh

Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Sisanya dimiliki rata oleh saudara kandung ACT, yaitu Yayasan Global Wakaf, Global Zakat, dan Global Qurban.

Pada akhir 2019, Global Itqon Semesta dilebur dengan Global Wakaf Corpora. Keduanya berada di bawah PT Global Wakaf Corporation, perusahaan yang juga dimiliki Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Sejak itu, saham Global Itqon beralih ke Global Wakaf Corporation.

Dengan komposisi saham seperti itu dan namanya tercatat sebagai Komisaris Utama PT Hydro mulai Oktober 2019, pendiri Aksi Cepat Tanggap, Ahyudin, membantah jika Hydro dimiliki oleh ACT. “Itu hanya perusahaan yang bermitra dengan ACT,” ucap Ahyudin.

Catatan laporan keuangan PT Hydro Perdana Retailindo sepanjang 2018-2019 menunjukkan perusahaan itu menyalurkan duit untuk Ahyudin dan keluarganya. Pada 13 dan 18 November 2018, Hydro mentransfer Rp 230 juta untuk uang muka pembelian rumah keluarga Ahyudin di Cianjur, Jawa Barat, dan Rp 31,75 juta untuk biaya notaris. Hingga Mei 2019, tercatat enam kali pembayaran cicilan rumah itu dengan nilai Rp 275 juta.

Hydro juga membayar cicilan pembelian rumah di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, yang diduga untuk istri ketiga Ahyudin. Sejak 31 Januari hingga Oktober 2019, tercatat ada sepuluh kali transfer dengan nilai Rp 2,86 miliar.

Dari rekening Hydro juga mengalir duit untuk pembelian perabot rumah Ahyudin di Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Tertulis di catatan keuangan ada empat kali transfer senilai Rp 634,5 juta. Antara lain, untuk pembelian 10 unit penyejuk udara (AC) seharga Rp 42,675 juta, pemanas air Rp 26,5 juta, lemari pakaian dan perangkat dapur Rp 54,25 juta, gorden Rp 23,45 juta, serta lampu gantung seharga Rp 4 juta.

Penyaluran uang Hydro ke rumah Ahyudin diduga atas setahu Hariyana Hermain, Senior Vice President ACT, yang kerap disebut-sebut sebagai pemegang kunci brankas ACT. Saat menemani Presiden Aksi Cepat Tanggap Ibnu Khajar ke kantor Tempo pada Selasa, 28 Juni lalu, Hariyana membantah jika disebut mengetahui pembelian itu. “Tidak tahu,” ujar Hariyana. Namun, setelah Tempo menyatakan ada dokumen yang menunjukkan keterlibatannya, ia kembali berkilah. “(Saya) tahu setelah diberi tahu. Sebelumnya saya tidak tahu.”

Tempo juga mendapatkan dokumen yang menunjukkan bahwa Ahyudin mendapat gaji dari PT Hydro senilai Rp 50 juta per bulan. Duit dari Hydro diduga juga diterima oleh seorang istri dan anak Ahyudin, masing-masing senilai Rp 25 juta.

Adapun Hariyana Hermain dan Ibnu Khajar, berdasarkan dokumen yang dimiliki Tempo, menerima uang dari Agro Wakaf Corpora, perusahaan yang juga dimiliki oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Mereka masing-masing mendapat Rp 20 juta dan Rp 15 juta. Baik Ibnu maupun Hariyana membantah bila petinggi ACT disebut menerima aliran duit dari unit bisnis tersebut.

Direktur Utama PT Hydro Syahru Aryansyah menolak berkomentar soal laporan yang didapat Tempo. “Anda dapat dari mana data itu?” katanya pada Jumat, 1 Juli lalu. Meski membenarkan data yang ditunjukkan, ia meminta Tempo menanyakan langsung kepada manajemen ACT.

Aliran dana dari PT Hydro kepada Ahyudin, keluarganya, dan para pengurus Yayasan ACT diduga melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Aturan itu melarang pembagian kekayaan yayasan berupa uang dan barang. Larangan itu juga berlaku bagi pengurus yang menjadi pendiri atau terafiliasi dengan pendiri, pembina, dan pengawas. Sanksi terhadap pelanggaran itu: penjara paling lama lima tahun dan kewajiban mengembalikan harta yayasan.

Ahyudin membenarkan dia membeli sejumlah rumah. Namun ia membantah jika disebut menggunakan duit lembaga untuk membayarnya. “Kalau saya tidak punya uang, boleh dong saya pinjam ke lembaga,” ujarnya.

Berbagai aliran duit itu ditengarai membuat keuangan PT Hydro berdarah-darah. Dokumen yang didapatkan Tempo menyebutkan bahwa petinggi ACT meminta aliran uang yang tercatat sebagai pinjaman manajemen diubah menjadi pengurangan utang Hydro kepada ACT.

Pada 12 Maret 2020, sejumlah petinggi Aksi Cepat Tanggap dan pengurus Hydro bertemu di Lantai 11 Menara 185, kantor ACT. Notula pertemuan berkategori rahasia itu menunjukkan bahwa petinggi ACT yang hadir meminta agar ada perubahan terhadap utang Hydro. Tujuannya agar laporan keuangan ACT pada 2019 mendapat predikat wajar tanpa pengecualian.

Hasil audit Kantor Akuntan Publik Razikun Tarkosunaryo untuk laporan keuangan ACT tahun 2019 menyimpulkan bahwa ACT mendapat predikat wajar tanpa pengecualian.

•••

DUGAAN penyelewengan duit Aksi Cepat Tanggap juga terjadi di luar Jakarta. Tempo menemukan kasus dugaan penggelapan pada program Lumbung Ternak Wakaf di Blora, Jawa Tengah, yang dikelola Global Wakaf Corporation yang terafiliasi dengan ACT. Ini adalah program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui sistem peternakan berbasis wakaf.

Dokumen investigasi internal Global Wakaf yang diperoleh Tempo menyebutkan pengelola Lumbung Ternak Wakaf Blora melaporkan ada 12.104 ekor kambing yang dipelihara di berbagai kandang ternak milik warga pada April dan Mei 2019. Hasil investigasi Global Wakaf justru menunjukkan hanya ada 2.196 ekor kambing. Artinya, lebih dari 9.900 kambing raib.

Hasil investigasi yang tertuang dalam dokumen tersebut menyatakan dana yang hilang akibat pembelian domba fiktif diperkirakan mencapai Rp 6,5 miliar. Kerugian itu belum termasuk duit yang hilang untuk pembelian pakan ternak dan penggemukan. Setiap bulan, Global Wakaf Corporation menyetor duit pembelian pakan Rp 50 ribu per kambing.

Dokumen yang sama menyebutkan kerugian dari pembelian pakan fiktif itu mencapai Rp 2,85 miliar. Tertulis dalam kesimpulan, “Terjadi kesalahan tata kelola dana Lumbung Ternak Wakaf yang sangat fatal.” Pantauan Tempo pada akhir Juni lalu, sejumlah lokasi bekas Lumbung Ternak Wakaf kini tak terpakai. Ada yang diubah menjadi kandang bebek atau tempat ternak jangkrik.

Kepala Lumbung Ternak Wakaf Blora Aryanto sempat diperiksa oleh tim auditor Global Wakaf di Jakarta.

Narasumber yang mengetahui pemeriksaan itu mengatakan Aryanto sempat menyebut petinggi Aksi Cepat Tanggap ikut berperan dalam manipulasi tersebut.

Presiden Aksi Cepat Tanggap Ibnu Khajar membantah ada penggelapan kambing dalam program Lumbung Ternak Wakaf di Blora. Ia justru menuding tim auditor tak mengecek semua kandang warga. “Saat tim auditor datang, sebagian warga yang dititipi kambing menolak dicek,” ucapnya.

Program Lumbung Ternak Wakaf dihentikan pada awal 2020. Ibnu Khajar mengatakan program itu dihentikan karena Aryanto meninggal akibat Covid-19. Memang Aryanto meninggal akibat Covid, tapi bukan pada 2019, melainkan pada 2021.

Berbagai pemborosan dan dugaan penyelewengan dana di pusat hingga daerah ditengarai menyebabkan kondisi keuangan Aksi Cepat Tanggap tersungkur. Pada pertengahan tahun lalu, ACT megap-megap tidak memiliki duit untuk melanjutkan pembangunan sekolah yang duitnya sudah mengalir dari Boeing sejak Januari.

ACT mendapat dana sekitar Rp 135 miliar dari Boeing untuk membangun 91 sekolah. Pembangunan sekolah itu merupakan bagian dari kompensasi Boeing kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air nomor penerbangan JT-610 yang jatuh pada 29 Oktober 2018.

Lokasi pembangunan sekolah ditentukan oleh keluarga korban.

Namun sebagian duit Boeing tersebut diduga digunakan untuk menutup pembiayaan program Aksi Cepat Tanggap lainnya. Dua mantan petinggi ACT mengatakan praktik seperti itu biasa dilakukan di lembaga tersebut.

Dana dari Boeing pun diduga tak digunakan dengan benar. Pembangunan Madrasah Tsanawiyah Persis Tanjungsari di kompleks Pesantren Persatuan Islam di Desa Sukaresik, Tasikmalaya, Jawa Barat, misalnya, tak sesuai dengan perencanaan. Sekolah itu dibangun sebagai kompensasi untuk keluarga Vivian Hasna Afifa, salah satu korban jatuhnya Lion JT-610.

Neuis Marfuah, 51 tahun, ibu Vivian, bercerita, keluarganya meminta supaya duit dari Boeing digunakan untuk membangun perpustakaan dan laboratorium. Ia juga meminta agar di lokasi pesantren milik keluarga itu dibuat lapangan basket. Proyek itu rampung pada Desember 2021.

Namun Neuis menilai pembangunan itu dilakukan asal- asalan dan menggunakan bahan yang berkualitas rendah. “Masak, ruang komputer tidak ada colokan listriknya?” katanya. Pun bukan lapangan basket yang dibangun, melainkan lapangan voli. “Saya minta ACT memperbaiki.

Kalau tidak, saya laporkan ke Boeing.”

Maret lalu, para tukang bangunan kembali datang ke Pesantren Persatuan Islam Sukaresik. Mereka memperbaiki bangunan kelas dan membangun lapangan basket.

Dana Boeing juga digunakan untuk merenovasi Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bumirejo II di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Berjalan selama beberapa pekan sejak Januari lalu, tiba-tiba proyek dihentikan. “Berhenti dua bulan,” ujar Puji Lestari, 55 tahun, ibu Citra Novita Anggelia Putri, korban kecelakaan, yang menyumbangkan dana untuk pembangunan sekolah tersebut.

Penduduk di sekitar sekolah sempat resah. Sebab, selama bangunan sekolah direnovasi, para murid harus menumpang belajar di rumah seorang penduduk. Warga Bumirejo lantas mempertanyakan hal tersebut kepada para pengurus ACT Cabang Magelang. “Tiga pekan kemudian, tukang kembali bekerja,” tutur pengurus Aisyiyah Bumirejo, Didi Murdiyanto.

Seorang pengurus ACT Cabang Magelang mengatakan tersendatnya pembangunan sekolah itu juga membuat mereka kebingungan. Ia merasa tak nyaman setiap kali melintasi wilayah itu karena selalu ditanyai oleh penduduk sekitar. Branch Manager ACT Magelang Maruf Setiawan mengatakan pembangunan sekolah tersebut sepenuhnya urusan ACT pusat dengan Boeing.

Direktur Komunikasi Boeing Asia-Pacific David Sidman mengaku tak berwenang menjawab pertanyaan Tempo. Sedangkan Shafril dari Makna Agency, konsultan hubungan masyarakat Boeing di Indonesia, mengatakan surat permintaan wawancara sedang dibahas oleh pihak Boeing di Amerika Serikat. “Mohon ditunggu,” ujar Shafril, Jumat, 1 Juli lalu.

Presiden Aksi Cepat Tanggap Ibnu Khajar mengatakan realisasi program sosial Boeing yang dilaksanakan lembaganya molor karena kendala pandemi. “Ada kendala teknis. Kami minta waktu tambahan ke Boeing dan mereka memahami,” katanya.

Pernyataan berbeda disampaikan Ahyudin, mantan Ketua Dewan Pembina Aksi Cepat Tanggap. Ahyudin membenarkan kabar bahwa September tahun lalu ACT kesulitan keuangan karena dana dari Boeing sudah digunakan untuk program lain. “Nilai utang ACT ke Boeing mencapai Rp 56 miliar,” ujarnya. “Pemotongan gaji pegawai tahun lalu untuk membayar utang program ke Boeing.”

STEFANUS PRAMONO, SHINTA MAHARANI (MAGELANG), SUJATMIKO (BLORA)

Artikel ini sudah terbit di majalah.tempo.co

Kategori :