Tunjangan Sertifikat Kompetensi Wartawan Menarik Didiskusikan

Tunjangan Sertifikat Kompetensi Wartawan Menarik Didiskusikan

SOAL tunjangan negara bagi wartawan yang memiliki sertifikat kompetensi muncul lagi ketika ada berita di sebuah media yang memberitakannya sehabis pelaksanaan Uji Kompetensi wartawan (UKW) PWI Sumsel di Palembang, 29 Juni 2022 lalu. Lalu timbul pro kontra sampai PWI Pusat mengeluarkan rilis yang intinya menolak usulan terkait tunjangan bagi wartawan.

Pembicaraan soal tunjangan ini sempat terlontar dalam diskusi yang diadakan Bappenas tahun 2021 lalu, dalam konteks tanggungjawab negara untuk meningkatkan kualitas pers di Tanah Air sebagaimana disampaikan oleh Direktur Politik dan Komunikasi, Wariki Sutikno. Tetapi seketika hadirin zoom, umumnya wartawan atau pengurus organisasi wartawan, terbelah menjadi dua kubu.

Yang satu menolak, karena itu dianggap sebagai intervensi pemerintah yang akan mengganggu independensi wartawan. Tunjangan dianggap sebagai suap sehingga wartawan akan kehilangan daya kritis, kehilangan ketajaman kontrol atas penyelenggaraan negara. Wartawan akan dininabobokkan dan gampang disetir oleh pemerintah dan akan mudah diatur sesuai kehendak penguasa.

Yang lain mengatakan, idenya menarik karena itu artinya negara memperhatikan kualitas wartawan sebagai pihak yang mengisi wacana dan ruang publik, sehingga kalau wartawannya berkualitas karya jurnalistiknya juga bermutu, sesuai kode etik jurnalistik. Karena yang memberi adalah negara itu bukan suap, itu adalah wujud dari tanggungjawab peningkatan kompetensi semua profesi bagi seluruh anak bangsa.

BACA JUGA:Akhir Oktober, Target Minimal 40 Persen Warga Divaksin Booster

BACA JUGA:Alat Tenun Songket Bertambah Jadi Enam Unit

Ide dari Wariki Sutikno itu sebenarnya bermula dari adanya pembiayaan negara kepada partai politik yang sudah berlangsung lama. Biaya politik itu diberikan dengan tujuan agar keuangan parpol bersifat mandiri; tidak mencari uang dari sumber haram ataupun dari orang-orang yang memiliki kepentingan dan memanfaatkan parpol sebagai alat. Walaupun mungkin tidak cukup tetapi biaya itu mampu memutar roda organisasi parpol seperti penyelenggaraan kantor di pusat dan daerah, menjalankan program kerja dsb.

Jumlah pendapatan setiap parpol berbeda, sesuai dengan prestasinya di pemilihan umum, yang antara lain diketahui dengan jumlah wakil parpol di parlemen pusat dan daerah. Artinya makin berprestasi, biaya yang diterima akan semakin besar, sehingga kompetisi berlangsung terus dalam kontestasi yang sehat.

Dari sudut pandang ini, soal independensi menarik didiskusikan. Apakah Partai Keadilan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat yang menjadi oposisi di parlemen pusat saat ini, kehilangan daya kritis dan ketajaman kontrol atas pemerintah hanya karena mendapat “tunjangan” dari negara? Jelas tidak. Apakah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendapat jatah dari APBD DKI Jakarta kehilangan daya kritis terhadap Gubernur Anies Baswedan? Ya sama sekali tidak. Kritik jalan terus.

Sama sekali tidak ada pengaruhnya. Sebab mereka tahu bahwa anggaran yang mereka dapat berasal dari pendapatan negara, seperti pajak-pajak ataupun sumber lain, yang di dalamnya juga mereka berpartisipasi melalui gagasan, pemikiran, atau kritik yang menyempurnakan berbagai keputusan pemerintah.

BACA JUGA:Harapan Warga Merapi Area Terkait Penahanan IM, Anggota DPRD Lahat

BACA JUGA:Baleho Erick Thohir Menyebar di Lahat, Minta Dukungan Jadi Presiden RI

Saya kira bantuan negara bagi partai politik ini bisa disejajarkan dengan ide tunjangan bagi wartawan bersertifikat, meskipun itu masih jauh panggang dari api karena ada banyak langkah yang harus dilakukan dan belum tentu pula pihak dan aktor penentu memiliki sikap sama. 

Saat menjadi penguji di sebuah uji kompetensi wartawan, kepada saya sering ditanyakan soal ini. Mereka bilang, buat apa sertifikat kalau tidak ada manfaatnya. Saya jelaskan banyak manfaatnya, seperti posisi di depan hukum akan lebih pasti, dalam meliput akan mendapat kemudahan, dan menjadi penentu kedudukan struktural di ruang redaksi dll., tetapi itu dianggap tidak cukup. Harus ada nilai tambah yang jelas, kata mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: