Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Keberatan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar diskusi wacana gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.--
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Keberatan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
JAKARTA, LAHATPOS.CO - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai wacana pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto berpotensi mengabaikan sejarah kelam represi terhadap kebebasan pers di masa Orde Baru.
Direktur LBH Pers Mustafa Layong menegaskan bahwa di bawah kekuasaan Soeharto, kebebasan pers di Indonesia berada dalam tekanan kuat karena kontrol ketat dari pemerintah.
"Banyak media dibungkam, aktivis ditangkap, dan hukum digunakan untuk menekan media. Itu fakta sejarah yang tidak bisa dihapus," ujar Mustafa dalam konferensi pers, Jumat 7 November 2025.
Pers Dibungkam di Era Orde Baru
Mustafa menjelaskan bahwa aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pada masa itu memberi kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk mencabut izin media kapan saja dengan alasan mengganggu stabilitas nasional.
"Tempo, Detik, Editor, dan banyak media lainnya dibredel. Undang-undang pers waktu itu memberi cengkeraman penuh kepada pemerintah," ungkapnya.
Menurut LBH Pers, kebijakan tersebut membuat jurnalisme kehilangan fungsi kontrol sosialnya, dan masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang bebas dan kritis.
Bertentangan dengan Semangat Reformasi 1998
Mustafa menilai langkah pemerintah yang mempertimbangkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bertentangan dengan semangat reformasi 1998, yang justru memperjuangkan kebebasan pers dan penghapusan kontrol negara terhadap media.
"Bagaimana mungkin orang yang membungkam pers dijadikan pahlawan? Itu sama saja menampar perjuangan jurnalis dan masyarakat sipil yang berkorban untuk kebebasan," tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa pemberian gelar tersebut bisa berisiko memutarbalikkan sejarah dan mengancam kebebasan berekspresi di masa kini.
"Kalau Soeharto disebut pahlawan, nanti mengkritiknya bisa dianggap menghina pahlawan nasional. Ini berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan pers," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
