Protokol Puting

Selasa 28-06-2022,07:18 WIB
Reporter : Dahlan Iskan
Editor : Dian

Macca Madinah

Kok saya jadi ingat acara "Wicked Tuna" di kanal NatGeo. Setiap si pemancing (nelayan) mendapatkan ikan tuna yang besar, pada akhir hari, mereka akan bawa tangkapannya ke pengepul yang mangkal di dermaga. Ikannya dipotong menjadi dua, lalu ada bagian dagingnya yang diambil oleh semacam alat bor berongga. Terlihat daging ikannya, merah, lembut, dsb. Yang saya heran, berapa pun harga yang ditetapkan oleh "hakim" itu, diterima saja oleh si pemancing, belum pernah, paling tidak di episode yang saya tonton, ada yang menolak keputusan itu. Padahal itu di AmSer lho. Apa lagi di sini.

 

Lukman bin Saleh

Resesi Amerika? Kalau bisa jangan. Negara lain sj yg resesi. Jangan Amerika. Ekonomi Amerika terlalu besar bg dunia. Jika resesi seluruh dunia akan merasakan dampaknya. Termasuk kita. Kalaupun ada resesi, cukuplah negara2 kecil macam Sri Langka. Masih bisa d tolong oleh negara2 besar. Tp kalau negara besar yg resesi. Siapa yg menolong siapa? Ayo Amerika, China, Eropa bangkit. Selamatkan ekonomi dunia...

 

LiangYangAn 梁楊安

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diskusi santai dengan teman-teman yang mengerti masalah perekonomian. Kebijakan Pemerintah waktu itu "menyetop export CPO" kemungkinan besar dilandasi 2 faktor : 1. Kekhawatiran yang tinggi terjadinya "stagflasi" yakni inflasi disertai pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi yang terjadi secara bersamaan dalam periode tertentu. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia belumlah sepenuhnya pulih paska Pandemi Covid-19. 2. Overestimate atas harga CPO dunia yang stabil di kisaran harga yang tetap tinggi, secara rasional memang supply yang lebih rendah daripada demand akan membuat harga tetap tinggi. Apalagi Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar CPO, dengan menyetop ekspor CPO maka supply CPO dunia akan jauh di bawah demandnya, dengan demikian harga akan tetap tinggi, dan Pemerintahpun cukup lihai menyetop eksport CPO tersebut hanya untuk kurun waktu yang singkat dan berharap segera kembali mengekspor dalam kondisi harga yang stabil tinggi. Prediksi dalam sebuah Kebijakan Ekonomi tetaplah mengandung resiko karena tidak selalu akan sejalan dengan dinamika ekonomi dunia yang unpredictable. Selain itu, sepertinya dinamika politik di dalam negeri yang seringkali mempolitisir hal-hal yang sensitif membuat pemerintah tidak berani "flow as a circumstance according to Phillips Curve"

 

LiangYangAn 梁楊安

Beberapa waktu yang lalu saya sempat diskusi santai dengan teman-teman yang mengerti masalah perekonomian. Kebijakan Pemerintah waktu itu "menyetop export CPO" kemungkinan besar dilandasi 2 faktor : 1. Kekhawatiran yang tinggi terjadinya "stagflasi" yakni inflasi disertai pertumbuhan ekonomi yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi yang terjadi secara bersamaan dalam periode tertentu. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia belumlah sepenuhnya pulih paska Pandemi Covid-19. 2. Overestimate atas harga CPO dunia yang stabil di kisaran harga yang tetap tinggi, secara rasional memang supply yang lebih rendah daripada demand akan membuat harga tetap tinggi. Apalagi Indonesia adalah salah satu eksportir terbesar CPO, dengan menyetop ekspor CPO maka supply CPO dunia akan jauh di bawah demandnya, dengan demikian harga akan tetap tinggi, dan Pemerintahpun cukup lihai menyetop eksport CPO tersebut hanya untuk kurun waktu yang singkat dan berharap segera kembali mengekspor dalam kondisi harga yang stabil tinggi. Prediksi dalam sebuah Kebijakan Ekonomi tetaplah mengandung resiko karena tidak selalu akan sejalan dengan dinamika ekonomi dunia yang unpredictable. Selain itu, sepertinya dinamika politik di dalam negeri yang seringkali mempolitisir hal-hal yang sensitif membuat pemerintah tidak berani "flow as a circumstance according to Phillips Curve"

 

agus budiyanto

Orang Jawa bilang, Zulhas kepener sunate.

 

Yoga The Iceman

Kategori :